Thursday, June 30, 2005

Berkali-kali juga dia bertanya

Berkali-kali juga dia bertanya, sesudah habis menelaah puluhan puisi saya, termasuk antologi 'Pemain Bahasa' dan beberapa buah puisi saya di laman siber. Sesudah mengetahui, naskhah puisi 'Ini Tanah Kita' bakal menerima watikah daripada Kumpulan Utusan (Kalau ada yang masih belum menatap puisi ini, silakan ke laman cjb saya di www.salmansulaiman.cjb.net dan akses di ruangan sajak), lebih bersungguh dia bertanya - bagaimana nak menulis sebuah puisi yang baik?

Payah juga sebenarnya untuk menjawab soalan semudah itu. Sehabis membaca 'Ini Tanah Kita' untuk kali yang entah ke berapa, dia berkata - "sedaplah sajak ni". Lebih terharu saya mendengar semua itu - kenyataan dan juga soalan. Saya berkira-kira, bagaimana harus menjawabnya. Soalan yang kedengarannya begitu mudah tetapi jawapannya agak payah juga saya kira.

Saya menjawab ringkas, membaca - banyakkan membaca puisi yang baik dari tangan penulis yang hebat dan kuat sajak-sajak mereka. Gila membaca puisi, maksud saya semua puisi perlu dibaca - terutama puisi-puisi dari penyair besar. Dengan banyak menelaah puisi besar dari pengarang besar, tentu saja akan melahirkan karya yang besar juga.

Bertahun-tahun juga saya menjadi penggila puisi, menelaah macam-macam puisi yang saya jumpa. Untuk melahirkan 'Ini Tanah Kita' itu saja tentunya mengambil tempoh bertahun-tahun juga. Bertahun-tahun itulah juga saya menanam roh puisi ke dalam jiwa. Menelaah segala macam puisi sampai ke inti-inti. Bertahun-tahun dalam erti kata rohnya, bukan bertahun-tahun proses penciptaannya. Tentu saja sehabis membaca ratusan buah puisi yang baik dan hebat, akan menerawang dalam kepala kita ungkapan-ungkapan indah dan hebat dalam puisi yang kita baca itu. Ungkapan-ungkapan indah yang bermain-main di kepala inilah yang membantu dengan sendirinya melahirkan ungkapan peribadi kita pula, yang juga indah sepertimana indahnya ribuan ungkapan oleh penyair-penyair besar yang kita baca.

Dengan menelaah ratusan malah ribuan puisi yang hebat inilah, sambil-sambil kita menelaah cara mereka mengungkapkan kata-kata besar yang hebat dan penuh falsafah. Sambil-sambil menelaah, kita juga belajar-belajar mencipta ungkapan sendiri yang membentuk identiti kita sendiri pula. Mencari identiti kepenyairan adalah satu hal yang lain pula.

Ketika meneroka ke lautan makna dan ke dasar kata-kata puisi itu juga, kita cuba-cuba mencipta ungkapan kita pula. Tapi jangan cuba meniru sesiapa - maksud saya meniru mana-mana ungkapan yang pernah kita baca. Hasilkan ungkapan, ayat dan kata-kata kita sendiri yang tidak menyamai mana-mana ungkapan yang pernah dihasilkan oleh penulis lain sebelum ini.

Dan secara peribadi, saya sendiri tidak pernah menggunakan ungkapan atau kata yang tidak tersedia dalam kepala untuk menghasilkan puisi. Tidak pernah pula saya memasukkan kata yang pelik-pelik ke dalam puisi. Kerana pada saya, tidak perlu menyusahkan pembaca dengan ungkapan yang pelik-pelik dan yang tidak pernah mereka dengar. Maksud saya, pembaca biasa yang bukan penulis.

Yang lebih penting pada saya, dengan kata dan ungkapan yang mudah itu kita perlu mencipta sebuah puisi yang indah dan penuh falsafah. Tidak perlu bersusah payah memasukkan kata yang bombastik dan pelik-pelik. Ini saya khususkan terhadap naskhah puisi 'Ini Tanah Kita'. Cubalah telaah puisi itu, tiada di dalamnya kata-kata yang sukar difahami saya kira. Kata-kata yang saya ungkapkan di dalamnya boleh difaham sesiapa sahaja. Yang bukan penulis pun tentu saja dapat merasa keterharuan naskhah 'Ini Tanah Kita' yang saya cipta. Tentu saja sesiapa pun yang membacanya akan dapat membayangkan seorang tua yang akhirnya menggali liang tanah untuk jasadnya sendiri di bawah pohon kemboja, seperti juga terbayang di kepala saya saat-saat menulisnya.

Lama juga saya menelaah puisi-puisi yang berkisar tentang kematian dan perkaitannya dengan tanah, dan barulah bertahun-tahun kemudian ia lahir menjadi begitu - 'Ini Tanah Kita'. Misalnya saja, beberapa buah naskhah puisi yang tentu saja menjadi bacaan akrab saya, tidak lain antologi 'Sekepal Tanah' karya Rahimidin Zahari. 'Sekepal Tanah' saya khatamkan berkali-kali, bertahun-tahun lamanya saya masuk ke dalam daerah kematian dan kembara ke alam lain yang dicipta Rahimidin. Bertahun-tahun saya mengakrabi 'Sekepal Tanah', masuk secara sesungguh mungkin ke dalam roh empat puluh buah puisi itu. Dan saya pun berkira-kira untuk melahirkan ungkapan-ungkapan saya sendiri yang tentu saja berbeza dan lari sejauh yang boleh daripada puisi-puisi 'Sekepal Tanah'.

Saya mencipta ungkapan saya sendiri, saya ingin mencipta dunia puisi saya sendiri. Dan begitulah seadanya yang tercipta - 'Ini Tanah Kita'. Dan tak sangka pula saya, ia menimbulkan keterharuan banyak orang.

Dan untuk dia yang berkali-kali bertanya, saya kira catatan ini tentunya akan menjawab sedikit soalan-soalan yang pernah diajukan ke telinga saya. Dia, seorang teman penulis muda yang sedang berlari di rimba sastera - mahu terus mengejar katanya. Dan saya percaya, mungkin juga akan sampai masanya dia akan memintas saya pula sesudah jenuh dan jauh berlari. Atau setidak-tidaknya kami akan terus berlari bersama. Berkali-kali juga dia bertanya, dan saya rasa cukuplah saja jawapan saya untuk edisi pertama.



Salman Sulaiman
Teratak Seni, Machang.
6.06 petang, 30 Jun 2005 / 23 Jamadil Awal 1426H - Khamis.

No comments: