Monday, May 01, 2006

Pramoedya Ananta Toer, perginya seorang sasterawan besar Nusantara

Sehabis isya' malam tadi, saya membuka kotak pesanan ringkas telefon bimbit saya. Sebaris sms pendek dari Jimadie Shah Othman berbunyi, "Bung Pram mati." Adik Su pula mengesahkan bahawa dia baru saja melihat laporan bertulis di TV3 bahawa sasterawan agung Nusantara itu telah pergi dalam usia 81 tahun.

Berita itu membuatkan saya sayu seketika. Saya terus saja teringatkan salah satu cita-cita besar saya yang saya simpan diam-diam dari dulu sampai kini bahawa saya mahu mengunjunginya. Saya bercita-cita mahu menemuinya di puncak perbukitan Bogor yang menjadi kediamannya yang terkini. Kediamannya di puncak Bogor itu dikhabarkan berharga beberapa juta ringgit, yang tentu saja dibina hasil daripada penjualan karyanya ke seluruh dunia yang telah diterjemah ke dalam puluhan bahasa dunia.

Saya juga teringatkan pertemuan Azman Ismail [wartawan utusan Malaysia] dengannya di rumahnya di Bogor dan kemudian wawancara tersebut tersiar di akhbar Mingguan Malaysia satu waktu dulu. Juga, saya terimbau kembali pertemuan istimewa wartawan RTM dengannya satu waktu dulu dan wawancara itu disiarkan dua kali di RTM secara bersiri, setengah jam untuk satu kali siar. Saya ingat lagi, saya sempat saksikan wawancara siri pertama dan terlepas menonton untuk malam kedua. Dan yang masih saya ingat, antara yang disebut Pram dalam wawancara eksklusif dengan wartawan RTM ialah, "Indonesia sekarang ini dalam proses membusuk."

Esoknya, habis segala akhbar harian di Malaysia memuatkan cerita dan berita tentang Pramoedya - sasterawan kesayangan Asia Tenggara ini. Tapi, ini berlaku lama dulu, beberapa tahun yang lalu, waktu dia masih ada. Kini, yang tinggal cuma namanya saja yang akan disebut orang kerana jasadnya telah kaku dan bisu, terpisahlah dari roh jasad yang cukup besar ini. Besar untuk dunia sastera Nusantara dan juga dunia.

Juga, yang akan tetap kekal di hati kita tentu saja sekian banyak kata-kata yang pernah ditulisnya. Paling tidak dapat dilupakan tentu saja tetralogi Buru yang dianggap karya agung dari tangan beliau. Juga, catatan besarnya semasa berbelas tahun di tahan di Buru - Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Setelah tahu saja tentang pemergian yang paling memilukan ini, segera saya kirimkan sms memberitahu sekian ramai teman penulis di seluruh Malaysia. Balasan yang saya terima antaranya, dari Wan Marzuki Wan Ramli berbunyi begini;

"Al-Fatihah, Nusantara kehilangan penulis besar yang tersohor."

Ali Bukhari Amir [wartawan akhbar Siasah] pula membalas begini;

"Inna lillah. Semoga roh beliau dicucuri rahmat-Nya."

Dan balasan dari sifu puisi Rahimidin Zahari berbunyi begini;

"Kita kehilangan satu-satunya calon penerima Hadiah Nobel yang paling layak dari dunia Melayu Indonesia."

Saya terkilan tidak sempat menemuinya seperti mana terkilannya saya tidak sempat menemui Sasterawan Negara Usman Awang. Saya tiba-tiba teringat cikgu saya di sekolah menengah yang merupakan salah seorang pengkagum Pram. Katanya, dia selalu membeli karya-karya Pram sebagai koleksi bacaannya. Dia sukakan kekuatan bahasa Pram yang tepat dan padat. Ketika itu, seingat saya dia memberitahu sudah punya sembilan buah karya Pramoedya. Dan juga, setelah dia diberitakan pergi saya segera menyelongkar almari buku di Teratak Seni dan saya keluarkan semua karya Pram yang saya ada.

Kini, saya pasti cikgu saya ini sudah punyai puluhan buah buku yang ditulis Pram. Saat itu, saya pun mula bercita-cita untuk menikmati tulisan manusia yang bernama Pramoedya Ananta Toer ini. Maka, saya belikan empat naskhah karya agungnya itu, tetralogi Buru yang masing-masing berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Saya belikan juga buah tangan Rudolf Mrazek tentang Pram yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru setebal 124 halaman. Kelima-lima naskhah ini saya bayar harganya di Pustaka Indonesia di Jalan Masjid India, Kuala Lumpur dengan dua kali pergi.

Pada ketika yang lain pula saya belikan sebuah lagi karya Pram yang berjudul Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer. Dan seperti saya tuliskan dalam catatan terdahulu, saat mencari buku bersama Dahri di Lebuh Chulia dan Bazar Chowrasta baru-baru ini; saya belikan dua lagi karya lama Pram yang berjudul Gadis Pantai dan Keluarga Gerilya. Dan, sebelumnya telah saya belikan naskhah terakhir oleh Pram saya kira yang diterbitkan pada tahun 2005 yang lalu berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels setebal 147 halaman. Cukuplah, walau saya tidak diizinkan Tuhan menemui orangnya, saya baca dan tatap karyanya.

Pram lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Selain pengarang, beliau pernah menjadi juruketik Kantor Berita Domei [1942 - 1944], wartawan majalah Sadar [1947], dan lembar "Lentera" akhbar Bintang Timur [1962 - 1965] dan menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publica [1963 - 1965] serta di Akademi Jurnalistik Dr. Rivai [1964 - 1965]. Pram mula menulis ketika sejak di bangku sekolah dasar lagi.


Pemergiannya juga mengingatkan saya pada sebuah puisi saya, yang saya tulis istimewa untuk empat orang sasterawan besar termasuklah dirinya. Untuk sehari dua ini, dengan bertemankan angin sepoi desa Padang Raja; izinkan saya menelaah dengan penuh sungguh-sungguh tulisan Pram yang aada dalam simpanan saya, dengan penuh rasa manusia kerana Pram sendiri menuliskan begini, "Dalam mendudukkan perikemanusiaan pada tempatnya yang benar, orang tak perlu takut," dalam bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia.

Saya selalu bercita-cita untuk hadiahkan puisi istimewa saya itu kepada Pram dalam bentuk yang telah diframe untuk disangkut di dinding rumah besarnya. Sayangnya, belum pun sempat saya melunasi cita-cita besar saya itu, dia telah ditakdirkan pergi terlebih dahulu. Dan untuk itu, izinkan saya perturunkan sepenuhnya puisi saya yang ditulis istimewa untuk empat sasterawan besar dunia termasuk Pram ini, yang pernah tersiar di majalah Dewan Bahasa edisi Jun 2001 yang berjudul Bahasa Pujangga;

Andai datang malam tiada bulan
berilah pada Pak Usman
kerana dia seorang sasterawan
sekuntum bunga yang gugur di halaman
itu pun cukuplah sebagai kenangan.

Andai ada cinta
berilah pada Hamka
sebaris kata
nanti akan bisa
melahirkan sejuta makna.

Andai ada apa-apa saja
berilah pada Pramoedya
sebaris kata
menghiris makna
kita pun terluka.

Andai datang malam ada cahaya
berilah pada Yasunari Kawabata
di langait bulan membisu tanpa kata
nanti kita akan tenggelam bersama
ke dalam cahaya purnama.

Itulah sebenarnya bahasa pujangga
seperti kata mereka
sebatang pena
cukuplah bagi kita
membunuh sejuta nyawa.

Puisi ini disiarkan berserta gambar Pram dengan gambar tiga lagi sasterawan yang saya dedikasikan puisi untuk mereka. Cukuplah saya menelaah tulisan-tulisannya yang saya ada sebagai pengubat kelukaan hati saya yang tidak sempat menemuinya. Akhir, izinkan saya kutip apa yang ditulis Pram sendiri dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu sepertimana yang dipetik oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru, begini;

"... pada akhirnya, maut hanyalah bagaimana orang memandangnya dan dari sudut mana ia mengintipnya. Pakai atau tanpa pakai lensa, dan jenis apa pula lensanya, dan bahannya.

... Bermacam cara dan saat sang maut mendatangi."

Al-Fatihah buatmu Bung Pram.


Salman Sulaiman
Teratak Seni, Machang,
Kelantan Darul Naim.
4.04 pagi, Isnin.
1 Mei 2006 [ selamat hari pekerja untuk semua].
Bersamaan 3 Rabi'ul Akhir 1427 H.

No comments: