Ketika masih di sekolah menengah, sebetulnya dalam tingkatan enam atas ketika itu – seorang teman akrab bercerita berkenaan dengan guru yang mengajar kelas tambahannya yang berkisah kepada pelajar kelasnya tentang Pram. Sayangnya guru itu tidak mengajar kelas saya. Antara yang masih saya ingat kira-kira begini: ‘Guru itu bercerita tentang minatnya yang mendalam terhadap karya-karya Pram. Seingat saya, katanya ketika itu dia sudah memiliki sembilan buah buku hasil karya Pram. Dia sangat suka dengan bahasa Pram yang menurutnya tepat dan tajam’. Begitulah Pram, dikagumi oleh ramai orang. Bertahun-tahun saya mencari karya Pram hinggalah saya akhirnya menemuinya di Kuala Lumpur pada tahun 2001, di Pustaka Indonesia di Jalan Masjid India sebetulnya. Masih segar juga dalam ingatan saya, jika ke Kota Bharu saya akan mencari-cari kalau-kalau ada nama Pramoedya Ananta Toer pada kulit buku yang dijual dan kalau ada teman yang mahu ke Kota Bharu pun saya pesankan supaya melihat jika ada buku yang nama pengarangnya ‘Pramoedya Ananta Toer’ hinggakan saya menulis tiga perkataan yang unik itu di atas kertas agar sahabat itu mudah mengingat dan senang mencarinya. Ternyata karangan-karangan Pram tidak pernah ada di Kota Bharu. Begitulah setakat yang saya tahu.
Dari saat mengenal Pram melalui bahan-bahan yang saya baca di perpustakaan sekolah, saya jadi sangat rindu untuk menelaah memoirnya yang selalu disebut-sebut, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Saya hanya menemuinya hampir setengah dekad kemudian ketika mula menyambung pengajian di kampus Pulau Mutiara. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu hanya ada senaskhah saja yang saya jumpa di perpustakaan kampus yang memuatkan ratusan ribu buah buku itu dan orang yang berkali-kali meminjamnya pula adalah saya. Sekarang, ketika sudah genap tiga tahun meninggalkan Pulau Mutiara saya kembali merindukan naskhah catatan Pram selama menjadi tahanan di Pulau Buru itu. Menyesal pula rasanya kerana tidak fotokopi saja buku itu untuk simpanan peribadi.
Pram pernah memberikan nasihat yang panjang kepada anak-anak remaja negaranya. Kepada perawan remaja bangsanya Pram menuturkan tentang kepedihan di zaman pendudukan Jepun yang sempat dilaluinya dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, “Begitu juga halnya dengan para perawan remaja di masa pendudukan Jepang, Maret 1942-Agustus 1945. Bila ada perbedaan dengan kalian adalah dalam syarat kehidupan. Di masa itu hidup memang serba susah. Sandang dan pangan merupakan sumber cerita yang terasa tiada ‘kan habis-habisnya. Untuk dapat makan sepiring nasi dalam sehari, jalan yang harus ditempuh sangat panjang dan berliku. Setiap hari orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, di bawah jembatan. Di desa-desa petani tidak berhak atas panen. Mereka malah terkena kerjapaksa di luar desanya. Lebih tiga perempat juta di antaranya tidak pernah bisa kembali kepada keluarganya karena tewas di rantau, di daratan dan kepulauan Asia Tenggara. Para pelajar di kota-kota hampir tidak sempat belajar di sekolah masing-masing.”
Pada tahun 1952 dalam eseinya yang berjudul Kesusastraan dan Perjuangan; dengan bahasa yang tegas, tajam dan berani Pram menulis, “Buat di Indonesia sendiri kesusastraan yang baru kemarin dilahirkan tentu saja belum dapat diharapkan seperti di negara-negara lain perjuangan kesusastraannya. Hasil kesusastraan yang sesungguhnya adalah berisikan nafas perjuangan sekalipun macamnya perjuangan itu sangat berlain-lainan. Dengan tiada ini ia hanya merupakan sebuah buku yang berisi tulisan tentang sesuatu yang bergerak dalam kematiannya. Perjuangan nasional memang sudah banyak digambarkan oleh angkatan Pujangga Baru. Juga setelah senjata di Indonesia berhenti berondongan tulisan-tulisan yang demikian banyak timbul. Sayangnya tulisan-tulisan itu boleh dikata baru merupakan teriak kesakitan seorang yang kena bisul di pantatnya. Hidup yang besar, yang bergerak, yang berjuang, yang berkelahi belum tampak. Malah Surabaya Idrus masih macet pada peristiwa yang terasa mekanis, kehilangan hidup itu sendiri, sekalipun sebagai hasil sastra ia jadi pembuka jalan bagi prosa modern dalam kesusastraan Indonesia dewasa ini.”
Menyebut Pram mengembalikan ingatan kita tentang Hadiah Nobel Sastera yang dia menjadi calon paling kerap tersenarai namanya mewakili penulis Nusantara. Kita cemburu melihat permuafakatan gergasi sastera Indonesia yang sepakat dan tidak putus-putus mencalonkan namanya. Kita jadi kecewa mengingatkan nasib sasterawan besar di negara kita yang entah sampai atau tidak namanya ke tangan panitia penilai Hadiah Nobel. Saya tidak pasti sama ada sampai atau tidak nama SN Shahnon Ahmad dan SN A Samad Said ke tangan panel penilai Hadiah Nobel. Seingat saya, ‘beberapa tahun yang lampau’ mereka berdua pernah disebut-sebut sebagai calon pengarang Malaysia yang akan dihantar namanya kepada panel penilai hadiah sastera yang paling berprestij di dunia itu. Tirulah abang kita Indonesia, bagaimana sepakatnya mereka menghantar nama Pram sebagai calon penerima Hadiah Nobel. Kita masih ada masa untuk berbuat demikian. Kalau masih terhegeh-hegeh juga, nanti Pak Samad dan Cikgu Shahnon pun akan pergi meninggalkan kita sebagaimana Pram!
Saya juga sebenarnya terfikir, kalaulah Hadiah Nobel itu bukan diberikan oleh kerajaan Sweden tetapi diselenggarakan oleh negara Amerika Syarikat sudah lama Pram menggondolnya kerana dia berkali-kali dipuji di sana. Lihat saja misalnya pujian kepadanya dalam USA Today, “Penulis ini berada sejauh separoh dunia dari kita, namun seni-budaya dan rasa kemanusiaannya sedemikian anggunnya menyebabkan kita langsung merasa seakan sudah lama mengenalnya – dan dia pun sudah mengenal kita – sepanjang usia kita.” Dan pujian The Los Angeles Times juga tidak kurang hebatnya, berbunyi begini, “Menukik dalam, lancar penuh makna dan menggairahkan seperti James Baldwin.... segar, cerdas, kelabu dan gelap seperti Dashiell Hammett.... Pramoedya adalah seorang novelis yang harus mendapat giliran menerima Hadiah Nobel.”
Berbicara tentang Pram juga mengingatkan saya kepada satu wawancara eksklusif yang pernah dibuat pihak RTM dengan Pram dan pernah disiarkan secara bersambung sebanyak dua siri, kalau tidak salah ingatan saya di tahun 2005. Sayangnya saya hanya sempat menontonnya separuh sahaja kerana al-maklumlah tinggal di asrama kampus yang hanya menyediakan tiga buah televisyen dengan muatan pelajar kira-kira seratus orang atau lebih sedikit. Dalam wawancara panjang itu, kata-kata Pram yang saya ingat hanya satu dan kurang lebihnya dia menyebut dengan sangat berani, “Indonesia sekarang sedang dalam proses membusuk.” Andai kata ada petugas di RTM atau orang-orang yang bekerja di pejabat Dato’ Seri Utama Rais Yatim membaca catatan ini, saya harap sangat – sempena genap tiga tahun kematian Pram hari ini, pohon agar disiarkan semula wawancara eksklusif itu!
Teringat juga terhadap dua orang teman penulis muda senior yang telah dikirim ke Bogor oleh pihak DBP Kuala Lumpur bagi menekuni dunia penulisan – Rozais al-Anamy dan Zanazanzaly. Saya pernah menyuarakan kepada mereka, seingat saya; alanglah bagusnya jika peserta Bengkel Penulisan MASTERA dibawa berjalan ke rumah Pak Pram yang juga di Bogor. Tapi sayang, sekarang peluang itu sudah tidak ada. Pram sudah mati.
Entahlah, sehari dua ini kerana terlalu asyik membaca dan menulis tentang Pram – saya seperti terbayang-bayang kelibatnya sedang menekan mesin ketiknya dengan puntung rokok yang berasap di bibir menghasilkan karya tulis yang akhirnya dikenang di kemudian hari, teringat-ingat Pram ketika masih di umur belasan yang melecet kakinya saat pertama kali mengenakan sepatu dalam perjalanan ke Sekolah Teknik Radio di kota Surabaya dan selalu ternampak dirinya yang berkain pelekat sedang tekun menelinga soalan wartawan.
Untuk dirinya sendiri dia sebenarnya telah menang sebagai pengarang walaupun Hadiah Nobel Sastera tidak ditakdirkan menjadi miliknya. Pram akan terus menang di jiwa kita sebagai warga Nusantara dan dia sendiri pun telah sekian lama berjaya memenangi hati kita dengan sekian banyak karya tulisnya. Kita sebenarnya sangat bertuah memilikinya. Sebagai pengarang dan sebagai manusia yang telah dirampas hak-hak kemanusiaannya, Pram telah pun melawan sehabis daya dengan pena dan tulisan hinggalah ke akhir hayatnya. Seperti katanya dalam baris akhir karya agungnya Bumi Manusia, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” dan saya merasakan Minke itu sebenarnya adalah Pram.
Teratak Seni, Machang.
30 April 2009 (Khamis)
No comments:
Post a Comment