Sunday, July 17, 2005

Kembali bertapa di Pulau Mutiara

Saya kembali menginap di desa lama tempat saya bertapa untuk tahun pertama yang lalu. Setelah setahun menyepi di desa lain untuk tahun kedua pengajian, rasa sunyi pula berseorangan - saya kembali ke desasiswa tempat teman-teman perajurit bertempik, bising menjerit pagi-pagi, mengejut teman ke tempat latihan. Tak tahan rasanya setahun menyepi diri dipisahkan oleh teman-teman di desasiswa lama yang penuh kenangan.

Seperti biasa, kampus dipenuhi kain rentang menyambut anak-anak baru yang khabarnya sekitar empat ribu orang. Bukit pulau ini kembali riuh oleh anak-anak baru yang masih segar-bugar dengan semangat ingin belajar.

Diam tak diam, sudah seminggu lebih saya kembali meneruskan pertapaan di bukit jauh ini. Kami kembali meneruskan jadual selalu, bergegas ke kelas, berdebat di bilik tutorial atau tersorok diam di perpustakaan.

Setahun, untuk sidang dulu; saya berseorangan di bilik. Seperti yang saya kata tadi, rasanya sudah tak tahan bersunyi-sunyi. Saya kembali ke desa asal di tahun pertama. Memilih tinggal sebilik dengan seorang akrab yang selalu saya pelawa tidur di bilik tempat saya tinggal berseorangan di tahun kedua.

Banyak kali juga, dia saya ajak temankan saya yang tinggal berseorangan terpisah dari kawan-kawan. Kini, saya tak perlu bersusah-susah berfikir bagaimana cara memujuk dia tidur di bilik saya, kerana dia memang akan terus sebilik dengan saya sampailah kami tamat belajar nanti, insya-Allah.

Bas ke dewan kuliah pagi-pagi, sudah penuh dan sendat seawal jam tujuh lebih lagi - lebih senang, untuk tidak bersesak-sesak, saya hanya memilih berjalan kaki. Waduh-waduh, rupanya 'senior' sudah kami yang di tahun tiga ini. Iskh, cepat sungguh masa berlalu.

Sehari dua ini, petang dan malam; Pulau Mutiara selalu saja dilanda hujan. Bulan di langit malam, sekadar kabur berbalam-balam - tanpa bintang. Izinkan saya terus bertapa di pulau jauh ini barang sembilan purnama lagi.

Saya kembali ke dalam riuh kota dan bising manusia. Kalau-kalau ke Minden, jika saya bukan di bilik kuliah atau tutorial, intai-intailah saya terceruk di rak buku bahasa Melayu di perpustakaan utama atau tersandar keletihan di dinding masjid al-Malik Khalid, di penjuru belakang di bahagian dalam. Kalau tak ada juga, jenguk-jenguklah di pasar pelajar - di sebuah gerai lukisan tempat seorang teman sedang asyik melakar catan atau potret tempahan.

Kalau gagal terkesan juga kelibat saya, tinjau-tinjaulah di siber kafe KBM di luar pagar kampus melayari internet atau mengemaskini laman siber. Tidak-tidak pun, lihat-lihatlah juga di Restoran Subaidah di belakang Dewan Budaya. Adalah saya di mana-mana, salah satunya.


Salman Sulaiman
KBM Sungai Dua, Minden,
Pulau Mutiara.
10.22 malam, 17 Julai 2005 - Ahad.

Wednesday, July 06, 2005

Banggul Derdap yang itu-itu juga, Padang Raja yang ini-ini saja

Entahlah, sehari dua ini - aku asyik terbayangkan sungai Ceper yang dalam tempat anak-anak Banggul Derdap main acilut. Aku teringatkan Lahuma dan seperti terngiang-ngiang di telinga raungan Jeha. Aku seperti nampak kelibat Sanah bersama adik-adiknya Milah, Jenab, Semek, Liah, Lebar dan Kiah.

Aku terkenangkan Ipin dengan atuk dan neneknya, terkenangkan Seha yang sedang bersawah-sawahan dan berbaruh-baruhan dengan atuk dan neneknya di Banggul Derdap. Aku seperti nampak kerbau keweh yang dua ekor itu sedang berselut lumpur di tengah baruh. Seperti ternampak burung-burung tiak jantan betina di tengah baruh dengan lintah gajah dan ular tedung senduk sedang bersembunyi di dalam selut.

Aku terkenangkan Su Usul dan Goh, ayah Shahnon yang selalu mendenak terkukur di Bukit Srengenge yang terbentang gagah di depan kampung Banggul Derdap dan selalu terbayang di mataku ibunya yang tabah, setabah sungai Ceper. Seperti terngiang di telingaku sipongang anak-anak Banggul Derdap sedang bising bermain acilut di sungai Ceper. Aku juga seperti terbayangkan Wak Da yang asyik berkalau-kalau saja mahu ke seberang. Dia pun sedang melintas sungai Ceper jugalah agaknya.

Aku seperti nampak sungai itu membawa arus banjir ke kampung Banggul Derdap. Dan bukit Srengenge masih di situ juga, teguh memerhati dengan segala misterinya. Aku terbayangkan Shahnon yang sedang mengetuk papan kekunci komputernya di Banggul Derdap yang sudah mati itu, mati dalam erti kata jasad fizikalnya. Mati untuk tidak memaknakan kehidupan ini lagi. Banggul Derdap masih ada, tapi ia sudah tidak bernyawa lagi. Ceper pun. Ceper pun sudah mati dalam erti katanya yang sebenar.

Aku teringatkan Lahuma dengan duri nibung di kakinya, juga busung nanah di perut Lahuma yang membusuk itu. Seperti kedengaran jelas di telinga jeritan Jeha yang tak henti-henti. Lantas aku terkenangkan buku Shahnon yang tercatat segala pengalamannya di Banggul Derdap, Detik-detik Diri di Daerah Daif.

Aku terlalu rindukan Banggul Derdap. Aku ingin kembali ke sana bersama Seha dan Ipin main sawah-sawahan, main acilut di sungai Ceper. Aku ingin melihat ibu Shahnon menganyam tikar mengkuang dan aku nak ikut ayahnya mendenak terkukur di bukit Srengenge. Aku ingin mandi-manda di sungai Ceper dan berselut lumpur di baruh bersama Ipin dan Seha. Dengan Sanah dan adik-adiknya juga.

Sayangnya buku itu telah menjadi milik seorang teman di kampus yang beria-ia sangat ingin membacanya. Buku berkulit biru itulah yang membawa aku, jauh ke Banggul Derdap. Aku tidak pernah ke sana pun, ke Banggul Derdap. Walau sudah lama benar aku bercita-cita mahu ke sana.

Kampung Banggul Derdap inilah yang selalu menjadi latar cerita Shahnon. Banggul Derdap inilah juga yang banyak melatari setiap tulisannya. Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Tak ada Banggul Derdap yang lain dah pun. Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Banggul Derdap itulah juga yang telah memaknakan hampir keseluruhan karyanya. Tak ada Banggul Derdap yang lain lagi dah, hanya Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Tempat Ipin dan Seha bermain sawah-sawahan itulah.

Di Banggul Derdap itulah juga tempat ayahnya mendenak terkukur dan tempat ibunya bersawah-sawahan dengan selut lumpur dan juga menerung dan juga rumput bulu landak. Di Banggul Derdap itulah juga. Aku rindukan Seha walau aku tak kenal pun Seha. Aku rindukan Ipin walau Ipin tak kenal aku pun dan aku pun memang tak kenal Ipin. Aku rindukan atuk dan neneknya.

Aku mahu ikut Seha ke sawah berbaruh-baruhan dengan neneknya. Dengan atuknya. Aku nak 'cebok' air dalam buyung di halaman dekat jelapang. Aku ingin tunggu atuk Seha mendenak terkukur dan aku ingin mandi bersama Seha di sungai Ceper.

Tapi sayangnya, aku tak pernah sampai ke Banggul Derdap. Aku hanya di sini di Padang Raja ini sajalah. Nantilah, aku akan pergi juga ke sana. Bertemu Shahnon di Banggul Derdap, di sungai Ceper. Aku hanya ada Padang Raja ini sajalah.

Sehari dua ini, aku begitu sayangkan tanah ini - tanah Padang Raja ini. Sehari dua ini jugalah, aku mula menghayati Padang Raja ini sesungguh mungkin. Merasai suasananya sungguh-sungguh. Rasanya tak mahu kutinggalkan sepohon belimbing manis di pinggir halaman yang selalu kupanjat waktu kecil-kecil dulu. Rindu rasanya lidahku ingin merasa lagi buah mangga di pinggir pagar jiran yang hanya berbuah empat biji saja tahun ini.

Sayang rasanya nak kutinggalkan lima pohon salak jantan yang tak berbuah-buah itu, yang sedang membesar di kiri halaman. Tapi, malam-malam buta keesokkan hari terpaksa kutinggalkan juga gugus-gugus rambutan 'che mbong' di keliling rumah yang sedang menghijau. Sepohon manggis yang ranum dan sepohon rambai yang rendang di bahagian dapur. Seperti terngiang-ngiang suara adik bongsuku menjerit-jerit dari atas pohon manggis di belakang rumah.

Terpaksa kutinggalkan juga buah-buah durian yang masih belum gugur-gugur itu. Pohonnya di tepi pokok belimbing manis di pinggir halaman. Terpaksa kutinggalkan juga rimbunan dokong di pinggir rumah yang kurang lebatnya tahun ini. Dan sepohon langsat yang tidak begitu lebat di sisinya. Juga sepohon katak puru yang melebat selalu bersama sebatang dua pohon jambu yang malas berbuah. Sayu rasanya hati mahu kutinggalkan sepohon mencupu di kebun getah di belakang rumah yang selalu kupanjat waktu kecil-kecilan dulu.

Bersama sepohon anak rambai yang sudah mula rajin berbuah betul-betul di jalan masuk ke halaman rumah. Juga lebat sepohon asam limau nipis yang sekian banyak berjasa kepada kami di teratak kecil ini. Terkenang juga aku sepohon limau kasturi dekat dengan rimbun ketereh yang juga selalu kupanjat waktu anak-anak. Air kelat buahnya terasa seperti masih melekat di lidah. Juga beberapa batang kelapa yang sekian banyak berjasa kepada kami semua, yang tak pernah jemu-jemu ia berbuah. Rindu sungguh hatiku pada sebatang celagi yang telah lama ditebang berhampiran anak salak jantan dekat pokok-pokok pisang. Buahnya yang masam selalu kumakan cicah air gula dan garam dicampur lada dan belacan. Tak dapat lagilah aku termenung di jendela, merenung sepohon betik jantan yang sekadar berbunga di tepi telaga.

Tak ada yang lain dalam hidupku. Padang Raja inilah saja dan orang-orang yang menghuninya juga. Sayang sekali rasanya mahu kutinggalkan tanah kebun di keliling rumah ini. Aku bukan di Banggul Derdap, aku hanya ada Padang Raja yang ini-inilah saja. Aku tidak boleh menulis tentang Banggul Derdap seperti Shahnon.

Aku hanya akan terus menulis tentang Padang Raja inilah saja. Ya, aku hanya ada Padang Raja yang ini-inilah saja. Tak apalah. Aku akan terus menulis di sinilah saja. Walau aku tak boleh melahirkan karya besar seperti Shahnon pun tak apalah. Aku percaya sebuah karya besar boleh ditulis di mana-mana. Aku akan tetap mencoretkan sesuatu yang istimewa tentang Padang Raja ini.

Kampung halaman yang dihijaukan pohon dan dusun ini terpaksa kutinggalkan juga. Tapi aku tetap akan kembali ke sini untuk tidak ke mana-mana lagi. Aku tetap akan kembali untuk mencatatkan sesuatu yang besar di sini kukira. Tak apalah aku tidak menjadi seperti Shahnon Ahmad pun, tak apalah. Biarlah Shahnon dengan Banggul Derdapnya yang itu-itu juga dan biarlah aku terus dengan Padang Rajaku yang ini-ini saja.



Salman Sulaiman
Padang Raja yang ini-ini saja,
Machang.
2.05 petang, 6 Julai 2005 / 29 Jamadil Awal 1426H
- Rabu yang pilu.

Monday, July 04, 2005

Menyelami jiwa anak-anak, jauh di kaki bukit

Sesudah asar, dalam gerimis petang, jumaat lalu - saya menyusur kampung-kampung yang jauh di pinggir bukit membonceng bersama seorang teman, sambil mengimbau kembali lekuk jalannya yang pernah saya lalui kecil-kecil dulu. Jenuh juga saya mencari seorang teman yang bakal dibuat kawan ke Hutan Lipur Bukit Bakar, Machang - tempat berlangsungnya program Kem Bina Sahsiah Belia Kawasan Machang untuk sesi 2005.

Saya mengingat-ingat kembali kenangan kecil saya di hutan lipur ini - berbasikal ke mari bersama beberapa orang teman, tentunya lebih setengah jam juga untuk sampai ke kaki bukit yang jauh ini, hanya sekadar untuk mandi-manda dan pulang dengan basah kuyup dan sampai ke rumah ketika pakaian yang basah tadi sudah kering. Kenangan waktu anak-anak memang begitu manis untuk diimbas kembali. Tentunya, ia pasti takkan berulang lagi dan sememangnya saya takkan berbasikal lagi ke mari. Atau kami akan singgah membeli apa-apa makanan di tengah jalan untuk dibuat bekal berkayuh.

Atau kami akan bertewas berkayuh memanjat bukit tinggi di tengah jalan dengan mengumpul stamina dan kelajuan awal-awal lagi, jauh di bawah bukit. Terlalu manis sebetulnya mengenang kenangan zaman anak-anak yang telah jauh saya tinggalkan, lebih jauh daripada tanah bukit ini. Berbasikal mini, kami berlumba-lumba untuk tiba ke puncak yang tinggi dan bersorak-sorak riang kalau sampai dahulu dari teman-teman yang lain. Dengan tubuh keletihan mengharung jauh perjalanan, tentunya begitu enak disambut oleh airnya yang sejuk nyaman - kami meniru aksi tarzan di hutan menjunam ke air dalam, memacakkan kepala ke air dan menghilang di dasar sungai dan timbul di seberang. Kami menikmati sejuk nyaman airnya dengan sepenuh riang hingga bibir kebiru-biruan, kesejukan. Zaman anak-anak yang begitu mempesona, selalu saja terbayang-bayang di ingatan.

Kompleks Perhutanan Bukit Bakar menyambut kami dengan penuh kedamaian hembusan angin bukit yang sejuk nyaman pada petang itu, bersama libasan ekor tiga empat ekor ikan talapia dan beberapa ekor anak-anak ikan kecil di kolamnya yang digelapkan airnya oleh daun-daun luruh, ditambah lagi dengan pohonan bukit yang daun-daunnya meliuk-liuk ditiup angin yang terlalu membahagiakan berserta udara sejuknya yang penuh ketenangan.

Jauh juga saya berangan-angan kepada teman saya itu, kalaulah kita dapat membina rumah di sini - terpisah dari bising manusia dan hiruk-pikuk kota yang membingitkan telinga. Kawasannya nampak bersih dan terjaga, dan pohon-pohon hiasan yang berjajaran terpangkas rapi. Sepengetahuan saya, tempat ini tidak pernah putus dengan pelbagai program anak-anak sekolah, remaja dan belia. Asramanya masih boleh memuatkan lebih seratus orang peserta.

Terkejut dan begitu terharu dengan kehadiran anak-anak peserta pada petang itu, rupanya kami berdua sahaja yang sedikit dewasa yang bakal mengawasi mereka. Majoriti peserta dalam tingkatan empat dan sebahagian kecilnya belajar di tingkatan enam bawah. Saya diberitahu kemudiannya, sasaran awal pihak penganjur ialah seramai enam puluh orang peserta, tapi yang ada di depan mata saya hanya kira-kira dua puluh enam sahaja. Terlalu payah sebenarnya untuk mengajak anak-anak remaja ke tempat-tempat begini, akui ibu sahabat saya tadi sebelum kami berangkat.

Riadah petang itu yang sepatutnya kami dibawa memanjat jalan-jalan menuju ke puncak bukit yang biasa dilalui pacuan tentera, terpaksa dibatalkan kerana hari hujan. Kami hanya sekadar beriadah di dewan kuliah, mendengar rentetan panjang pengalaman seorang bekas tentera berpangkat Mejar. Kekentalan jiwa tenteranya serasa seperti meresap masuk ke jiwa anak-anak peserta bersama jenakanya yang disusuli tawa para peserta.

Celahan waktu maghrib dan isya' malamnya, kami menadah telinga mendengar 'kuliah ringan' oleh imam Masjid Ya'akubiah, Kampung Kuala Bakar - Ustaz Wan Lutfi Wan Sulaiman dan sambil-sambil ikut ketawa dengan jenakanya menarik perhatian anak-anak. 'Kuliah ringan' maksud saya, bukan sesi mengajar kitab atau menadah kitab, sekadar 'kuliah ringan' yang bersesuaian dan tidak memberatkan kepala anak-anak.

Makan malam kami selepas solat isya' berlaukkan ayam gulai dan seekor ikan masin, berserta beberapa hiris mentimun dan sambal yang pedasnya tidak begitu menggigit lidah. Sesi kedua menampilkan dua orang penceramah yang berbicara soal jati diri anak muda dan apakah yang perlu ada pada anak muda untuk lebih perkasa. Untuk tidak melalaikan anak-anak yang kekenyangan, bicara para pembentang tetap bersulam jenaka dan penuh ceria.

Hidangan akhir kami malam itu berupa bubur kacang yang masih panas berasap bersama beberapa buku roti. Enak sekali mengunyah bubur panas pada malam-malam buta di tengah-tengah hutan begini. Sayangnya, saya ditinggal pulang oleh teman yang datang bersama siang tadi dan kerja memimpin anak-anak diserahkan kepada saya berseorangan. Malamnya, tidur saya ditemani 'susik-susik' suara perbualan anak-anak dan sesekali diselangi tawa, dicampur suara unggas hutan yang tak putus-putus berbunyi, yang tak pernah saya dengar ketika di kampung.

Ingatan saya mengimbau jauh kepada kenangan tujuh tahun yang lalu, saya juga pernah bermalam di sini dalam satu kem yang lebih meriah dengan jumlah peserta yang lebih ramai daripada anak-anak peserta yang saya pimpin hari ini. Ketika itu, saya sebagai peserta bukan sebagai pembimbing peserta dan tidak pernah pula saya terfikir ketika itu sebagai anak peserta yang masih mentah untuk datang kembali ke sini satu hari nanti sebagai pembimbing peserta. Langsung tidak terfikir di kepala saya, tapi kedatangan saya hari ini mengingatkan tentang banyak perkara.

Dan ketika itu juga, saya ingat lagi, saya juga tidur lewat malam kerana menyiapkan beberapa helai catatan dan ianya masih saya simpan. Catatan itulah yang memberi ingatan yang begitu jelas kepada kedatangan saya ke Kompleks Perhutanan ini hampir tujuh tahun yang lalu, sebagai peserta yang masih mentah tentunya berbanding kedatangan saya hari ini. Peristiwa kedatangan saya itu, satu-satu tergambar di kepala dengan adanya catatan yang masih saya simpan sebagai kenangan. Dan saya cuba-cuba membandingkan kem yang dulu dan yang hari ini, kalau-kalau ada yang lebih istimewa.

Panjang juga catatan saya malam itu dan saya mula mengunyah mimpi ketika jam tangan saya sudah menunjukkan hampir jam tiga pagi. Sehabis subuh dan kuliah pagi esoknya, saya diarahkan membawa anak-anak berlari ke atas bukit menyusur jalan laluan pacuan empat roda petugas Telekom Malaysia (TM) dan angkatan tentera Malaysia. Saya mulakan dengan sedikit senaman ringan, risau juga takut ada yang kekejangan di tengah jalan atau lebih parah kalau ada yang jatuh pengsan. Kalau diikutkan, anak-anak itu mahu mendaki lebih tinggi tapi saya arahkan mereka berpatah turun setelah melihat semuanya tercungap-cungap kelelahan. Seorang diantara mereka mengadu pening kepala dan saya bersama seorang temannya menunggu matanya yang berpinar-pinar pulih semula. Lebih risau saya, takut-takut dia tak sedarkan diri.

Anak-anak yang lain sudah jauh berlari ke bawah bukit, tidak tahu pula mereka ada seorang kawan yang hampir pitam. Mujur peningnya tidak berpanjangan. Sebaik tiba di bawah bukit, hampir kesemua anak-anak menghilang menuju ke kawasan perkelahan dan mandi-manda menghilangkan kepenatan memanjat. Sejuk rasanya saya untuk mengekor mereka. Sempat juga kami merenung ikan dari atas jambatan, melihat daun-daun bersepahan di dasar sungai sebelum mengunyah sarapan dengan sebungkus nasi lemak dan air teh 'o' suam.

Ucapan penutup berjalan lancar berserta perlantikan jawatankuasa kerja permulaan dari kalangan para peserta untuk memberi kelangsungan kepada program sebegini di masa depan dan sesi terakhir itu berakhir dengan acara bergambar. Lebih sejam masa yang terluang diberikan kepada para peserta untuk bermandi-manda sebelum berangkat pulang dan saya sempat diajak oleh salah seorang dari mereka untuk ikut serta. Tapi saya sekadar memilih untuk tengok-tengok saja, cukup sekadar meninjau-ninjau kemeriahan anak-anak bermain air. "Rugilah kalau dah datang ni tak mandi," ujar seorang peserta yang beria-ia mengajak saya mandi sama.

Saya sempat menitipkan kad saya untuk beberapa orang peserta sebelum meninggalkan mereka yang masih riuh bermandi-manda. Menyusur pohon-pohon hutan di Hutan Lipur Bukit Bakar dan seperti dilambai oleh pintu gerbangnya dengan ucapan terima kasih - saya tinggalkan tanah jauh di kaki bukit itu membonceng bersama sepupu yang datang menjemput pagi tadi dengan penuh rasa terharu, bila agaknya saya akan ke mari lagi - menyelami jiwa anak-anak, jauh di kaki bukit.


Di kaki bukit yang lain

Di kaki bukit yang lain, semalam di Bukit Ilmu, Machang - ketika waktu mencecah tujuh tiga puluh pagi, berpusu-pusu sudah kenderaan yang menyusur masuk ke Universiti Teknologi Mara Cawangan Kelantan membawa insan-insan terpilih untuk melapor diri sebagai pelajar baru. Dan mereka terus saja menjalani sesi Minggu Mesra Siswa UiTM Machang selama enam hari berturut-turut bermula 3 hingga 8 Julai ini. Kain rentangnya yang menyambut kedatangan mereka juga tidak ketinggalan mengucap tahniah atas kejayaan mereka menyambung pengajian ke universiti. Dan, di kaki bukit yang lain pula, saya seperti nampak begitu ramai yang memanggil-manggil dan ingin menyambut saya juga.




Salman Sulaiman

CC Akidjaya, Machang.
1.20 tengah hari, 4 Julai 2005 / 27 Jamadil Awal 1426 H
- Isnin.




Friday, July 01, 2005

Berkali-kali juga dia bertanya - Edisi Dua

Berkali-kali juga dia bertanya, dengan sepatah soalan yang pendek saja - tapi jawapan saya masih belum habis-habis juga. Saya berkira-kira untuk menjawab semua soalan sebelum sempat saya ditanya lagi dan catatan ini juga, untuk yang malu bertanya atau sengaja tak mahu bertanya. Atau untuk yang lain-lain juga, yang tidak sempat bertanya.
Siapalah saya untuk mengajar orang lain, hanya bercerita pengalaman sendiri apabila ditanya berkali-kali.

Antara lain, bersama 'Sekepal Tanah' yang ikut saya kunyah berkali-kali ialah buah tangan Sapardi Djoko Damono berjudul 'Sihir Hujan' yang begitu memikat. Puisinya pendek-pendek, tapi ringkas dan padat - penuh falsafah. Kalau rasa ingin meringankan kepala yang berat dengan macam-macam perkara, nashkah yang berdua inilah yang menjadi juadah santai saya. Saya rasa terlalu bahagia kembara ke alam kata-kata ciptaan Rahimidin dan Sapardi.

Nashkah lain yang ikut menjadi santapan naluri puisi saya ialah antaranya 'Gitanjali' karya Rabindranath Tagore, 'Petang Condong' karya T Alias Taib, 'Matahari Berdoa' karya Rahimidin Zahari, 'Pesisir Waktu' karya A Latiff Mohidin juga 'Rawa-rawa', 'Katarsis' oleh Zaen Kasturi, 'Pasrah' dan 'Qaf' oleh Moechtar Awang, 'Racun Abadi' oleh Abdul Hadi Muhammad, 'Candu' oleh Azman Hussin dan beberapa naskhah antologi puisi Siti Zainon Ismail (sekadar menyebut beberapa nama sebagai contoh).

Naskhah puisi Sasterawan Negara tentu saja, perlu menjadi bacaan wajib penulis yang ingin berjaya. Bauran sekian banyak naskhah puisi inilah yang saya telan dan kunyah sekian waktu, sekian purnama dan saya pun mula belajar mencipta - mengungkap kata-kata dan ungkapan sendiri yang tidak pernah diungkap dan ditulis sesiapa.

Seperti yang saya kata, mencari identiti sendiri adalah satu hal yang lain pula. Seorang penulis mengambil masa dan tempoh waktu yang sekian lama saya kira, untuk mencapai tahap keperibadiannya sendiri dalam berkarya. Lihat saja Sasterawan Negara kita yang ada, mereka tentu saja sudah mempunyai identiti penulisan yang tersendiri - yang berpengaruh dan menjadi pengenalan diri untuk seseorang penulis. Lihat saja gaya penulisan dan identiti kepengarangan SN Shahnon Ahmad yang telah dikenali dan gayanya mudah dicam dan dikenali.

Untuk mencapai takah itu tentunya mengambil masa yang begitu lama dan memakan masa berdekad-dekad juga. Gaya perulangannya sudah menjadi pengenalan diri kepada karya Shahnon. Malah gaya dan identiti kepengarangannya itu memberi pengaruh besar juga kepada beberapa penulis lain.

Lain pula halnya dengan SN A Samad Said. Lihat saja identiti puisinya yang tersendiri. Itulah pengenalan diri kepada puisi-puisinya. Perlambangan yang memakai sekian banyak juzuk alam sudah menjadi identiti puisi SN A Samad Said. Selalu saja ada biawak, ular, lipan dan segala macam makhluk penghuni alam menjadi objek perlambangan puisi-puisinya. Bahasa untuk kertas kerjanya dan ucapannya di mana-mana, masih berlarikkan bunga-bunga dan penuh gaya. Itulah pengenalan diri kepada tulisan, karya A Samad Said.

Pencarian identiti ini tentu saja memakan masa yang begitu lama dan memerlukan penelaahan mendalam dan bersungguh-sungguh. Saya sendiri, sudah hampir satu dekad juga melarikkan kata-kata tapi belum juga saya ketemu identiti penulisan saya yang teguh. Identiti sendiri sebagai pengenalan diri. Atau saja Rahimidin Zahari dengan puisi ketuhanan yang disalut tradisi dengan latar alam kampung atau tanah kubur.

Proses pencarian identiti adalah proses berdikit-dikit yang lama. Pencarian yang penuh kesungguhan, memerlukan kesabaran dan ketekunan yang bukan calang-calang. Tujuh tahun menulis puisi, saya baru di pintu pencarian identiti. Ruang dalamnya masih terlalu luas untuk saya teroka, saya baru di pintu kata sebetulnya.

Ilham, adalah satu hal yang lain pula. Saya pun tidak tahu bila lagi akan datang ilham yang baik untuk saya menghasilkan sebuah puisi lain yang ikut menawan seperti 'Ini Tanah Kita'. Seperti biasa, sebelum ini setiap kata yang baik dan ilham yang menjadi di kepala akan cepat-cepat saya tuliskan di kertas takut ia hilang melesap lenyap entah ke mana. Kerana kata-kata dan satu-satu ungkapan itu hanya datang sekali sahaja dan ia akan meluncur hilang. Yang datang kemudian adalah ungkapan-ungkapan yang lain pula.

Begitulah betapa payahnya untuk menghasilkan sebuah puisi yang baik dan bermakna, lebih payah lagi untuk menghasilkan identiti sendiri dan membentuk keperibadian kepenyairan yang unggul juga mantap, bakal kekal ke akhir hayat.

Moga-moga terjawab sudah sekian kali soalan dia ke telinga saya. Saya tahu, dia akan kekal bertanya soalan yang lain pula dan saya akan kekal menjawab juga untuk sesi yang lain pula.



Salman Sulaiman
Teratak Seni, Machang.
12.53 tengah hari, 1 Julai 2005 / 24 Jamadil Awal 1426H
- Jumaat yang sendat.