Entahlah, sehari dua ini - aku asyik terbayangkan sungai Ceper yang dalam tempat anak-anak Banggul Derdap main acilut. Aku teringatkan Lahuma dan seperti terngiang-ngiang di telinga raungan Jeha. Aku seperti nampak kelibat Sanah bersama adik-adiknya Milah, Jenab, Semek, Liah, Lebar dan Kiah.
Aku terkenangkan Ipin dengan atuk dan neneknya, terkenangkan Seha yang sedang bersawah-sawahan dan berbaruh-baruhan dengan atuk dan neneknya di Banggul Derdap. Aku seperti nampak kerbau keweh yang dua ekor itu sedang berselut lumpur di tengah baruh. Seperti ternampak burung-burung tiak jantan betina di tengah baruh dengan lintah gajah dan ular tedung senduk sedang bersembunyi di dalam selut.
Aku terkenangkan Su Usul dan Goh, ayah Shahnon yang selalu mendenak terkukur di Bukit Srengenge yang terbentang gagah di depan kampung Banggul Derdap dan selalu terbayang di mataku ibunya yang tabah, setabah sungai Ceper. Seperti terngiang di telingaku sipongang anak-anak Banggul Derdap sedang bising bermain acilut di sungai Ceper. Aku juga seperti terbayangkan Wak Da yang asyik berkalau-kalau saja mahu ke seberang. Dia pun sedang melintas sungai Ceper jugalah agaknya.
Aku seperti nampak sungai itu membawa arus banjir ke kampung Banggul Derdap. Dan bukit Srengenge masih di situ juga, teguh memerhati dengan segala misterinya. Aku terbayangkan Shahnon yang sedang mengetuk papan kekunci komputernya di Banggul Derdap yang sudah mati itu, mati dalam erti kata jasad fizikalnya. Mati untuk tidak memaknakan kehidupan ini lagi. Banggul Derdap masih ada, tapi ia sudah tidak bernyawa lagi. Ceper pun. Ceper pun sudah mati dalam erti katanya yang sebenar.
Aku teringatkan Lahuma dengan duri nibung di kakinya, juga busung nanah di perut Lahuma yang membusuk itu. Seperti kedengaran jelas di telinga jeritan Jeha yang tak henti-henti. Lantas aku terkenangkan buku Shahnon yang tercatat segala pengalamannya di Banggul Derdap, Detik-detik Diri di Daerah Daif.
Aku terlalu rindukan Banggul Derdap. Aku ingin kembali ke sana bersama Seha dan Ipin main sawah-sawahan, main acilut di sungai Ceper. Aku ingin melihat ibu Shahnon menganyam tikar mengkuang dan aku nak ikut ayahnya mendenak terkukur di bukit Srengenge. Aku ingin mandi-manda di sungai Ceper dan berselut lumpur di baruh bersama Ipin dan Seha. Dengan Sanah dan adik-adiknya juga.
Sayangnya buku itu telah menjadi milik seorang teman di kampus yang beria-ia sangat ingin membacanya. Buku berkulit biru itulah yang membawa aku, jauh ke Banggul Derdap. Aku tidak pernah ke sana pun, ke Banggul Derdap. Walau sudah lama benar aku bercita-cita mahu ke sana.
Kampung Banggul Derdap inilah yang selalu menjadi latar cerita Shahnon. Banggul Derdap inilah juga yang banyak melatari setiap tulisannya. Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Tak ada Banggul Derdap yang lain dah pun. Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Banggul Derdap itulah juga yang telah memaknakan hampir keseluruhan karyanya. Tak ada Banggul Derdap yang lain lagi dah, hanya Banggul Derdap yang itu-itulah juga. Tempat Ipin dan Seha bermain sawah-sawahan itulah.
Di Banggul Derdap itulah juga tempat ayahnya mendenak terkukur dan tempat ibunya bersawah-sawahan dengan selut lumpur dan juga menerung dan juga rumput bulu landak. Di Banggul Derdap itulah juga. Aku rindukan Seha walau aku tak kenal pun Seha. Aku rindukan Ipin walau Ipin tak kenal aku pun dan aku pun memang tak kenal Ipin. Aku rindukan atuk dan neneknya.
Aku mahu ikut Seha ke sawah berbaruh-baruhan dengan neneknya. Dengan atuknya. Aku nak 'cebok' air dalam buyung di halaman dekat jelapang. Aku ingin tunggu atuk Seha mendenak terkukur dan aku ingin mandi bersama Seha di sungai Ceper.
Tapi sayangnya, aku tak pernah sampai ke Banggul Derdap. Aku hanya di sini di Padang Raja ini sajalah. Nantilah, aku akan pergi juga ke sana. Bertemu Shahnon di Banggul Derdap, di sungai Ceper. Aku hanya ada Padang Raja ini sajalah.
Sehari dua ini, aku begitu sayangkan tanah ini - tanah Padang Raja ini. Sehari dua ini jugalah, aku mula menghayati Padang Raja ini sesungguh mungkin. Merasai suasananya sungguh-sungguh. Rasanya tak mahu kutinggalkan sepohon belimbing manis di pinggir halaman yang selalu kupanjat waktu kecil-kecil dulu. Rindu rasanya lidahku ingin merasa lagi buah mangga di pinggir pagar jiran yang hanya berbuah empat biji saja tahun ini.
Sayang rasanya nak kutinggalkan lima pohon salak jantan yang tak berbuah-buah itu, yang sedang membesar di kiri halaman. Tapi, malam-malam buta keesokkan hari terpaksa kutinggalkan juga gugus-gugus rambutan 'che mbong' di keliling rumah yang sedang menghijau. Sepohon manggis yang ranum dan sepohon rambai yang rendang di bahagian dapur. Seperti terngiang-ngiang suara adik bongsuku menjerit-jerit dari atas pohon manggis di belakang rumah.
Terpaksa kutinggalkan juga buah-buah durian yang masih belum gugur-gugur itu. Pohonnya di tepi pokok belimbing manis di pinggir halaman. Terpaksa kutinggalkan juga rimbunan dokong di pinggir rumah yang kurang lebatnya tahun ini. Dan sepohon langsat yang tidak begitu lebat di sisinya. Juga sepohon katak puru yang melebat selalu bersama sebatang dua pohon jambu yang malas berbuah. Sayu rasanya hati mahu kutinggalkan sepohon mencupu di kebun getah di belakang rumah yang selalu kupanjat waktu kecil-kecilan dulu.
Bersama sepohon anak rambai yang sudah mula rajin berbuah betul-betul di jalan masuk ke halaman rumah. Juga lebat sepohon asam limau nipis yang sekian banyak berjasa kepada kami di teratak kecil ini. Terkenang juga aku sepohon limau kasturi dekat dengan rimbun ketereh yang juga selalu kupanjat waktu anak-anak. Air kelat buahnya terasa seperti masih melekat di lidah. Juga beberapa batang kelapa yang sekian banyak berjasa kepada kami semua, yang tak pernah jemu-jemu ia berbuah. Rindu sungguh hatiku pada sebatang celagi yang telah lama ditebang berhampiran anak salak jantan dekat pokok-pokok pisang. Buahnya yang masam selalu kumakan cicah air gula dan garam dicampur lada dan belacan. Tak dapat lagilah aku termenung di jendela, merenung sepohon betik jantan yang sekadar berbunga di tepi telaga.
Tak ada yang lain dalam hidupku. Padang Raja inilah saja dan orang-orang yang menghuninya juga. Sayang sekali rasanya mahu kutinggalkan tanah kebun di keliling rumah ini. Aku bukan di Banggul Derdap, aku hanya ada Padang Raja yang ini-inilah saja. Aku tidak boleh menulis tentang Banggul Derdap seperti Shahnon.
Aku hanya akan terus menulis tentang Padang Raja inilah saja. Ya, aku hanya ada Padang Raja yang ini-inilah saja. Tak apalah. Aku akan terus menulis di sinilah saja. Walau aku tak boleh melahirkan karya besar seperti Shahnon pun tak apalah. Aku percaya sebuah karya besar boleh ditulis di mana-mana. Aku akan tetap mencoretkan sesuatu yang istimewa tentang Padang Raja ini.
Kampung halaman yang dihijaukan pohon dan dusun ini terpaksa kutinggalkan juga. Tapi aku tetap akan kembali ke sini untuk tidak ke mana-mana lagi. Aku tetap akan kembali untuk mencatatkan sesuatu yang besar di sini kukira. Tak apalah aku tidak menjadi seperti Shahnon Ahmad pun, tak apalah. Biarlah Shahnon dengan Banggul Derdapnya yang itu-itu juga dan biarlah aku terus dengan Padang Rajaku yang ini-ini saja.
Salman Sulaiman
Padang Raja yang ini-ini saja,
Machang.
2.05 petang, 6 Julai 2005 / 29 Jamadil Awal 1426H
- Rabu yang pilu.
Catatan Rehlah Haji 1436H – Siri 3
3 months ago
No comments:
Post a Comment